Jun 27, 2024

Jun 27 2024

Reina duduk diam di mobil selama perjalanan pulang.
Perkataan ibunya terus terngiang di benaknya dan tiba-tiba terdengar suara gemuruh di telinganya.
Reina sadar penyakitnya semakin parah.
Tiba-tiba ponselnya berdenting, tanda ada sebuah pesan masuk.
Ternyata itu adalah pesan dari Maxime yang jarang sekali bicara dengannya: "Malam ini nggak pulang."
Selama tiga tahun menikah, Maxime tidak pernah bermalam di rumah.
Dia juga tidak pernah menyentuh Reina.
Reina masih ingat jelas perkataan Maxime di malam pernikahan mereka tiga tahun lalu.
"Lancang sekali Keluarga Andara menipuku. Bersiaplah, kamu akan kesepian sampai mati nanti."
Mati kesepian ....
Tiga tahun lalu, Keluarga Andara dan Keluarga Sunandar bersatu untuk kepentingan bisnis.
Semua sudah sepakat, pernikahan ini akan menguntungkan kedua belah pihak.
Namun, di hari pernikahan, Keluarga Andara tiba-tiba berubah pikiran dan mentransfer semua aset mereka, termasuk uang ratusan miliar pemberian Maxime sebagai maskawin dengan Reina.
Pandangan Reina meredup begitu teringat akan hal ini, tetapi dia tetap membalas pesan itu: "Oke."
Laporan tes kehamilan di tangannya tanpa disadari sudah menjadi bola kertas.
Sesampainya di rumah, Reina langsung membuang bola kertas itu ke tong sampah.
Setiap bulan di tanggal yang sama, dia merasa sangat lelah.
Karena tidak perlu menyiapkan makan malam, Reina bersandar sejenak di sofa dan setengah tertidur.
Suara gemuruh selalu terdengar di telinganya.
Inilah yang dibenci Maxime dari Reina. Di mata keluarga kaya, Reina sama saja dengan orang cacat.
Jadi, mana mungkin Maxime sudi membiarkan Reina hamil anaknya?
Jam dinding bergaya Eston berdentang.
Saat ini pukul lima pagi.
Maxime akan pulang satu jam lagi.
Reina baru sadar ternyata semalam dia tidur di sofa.
Dia buru-buru bangun dan menyiapkan sarapan untuk Maxime, Reina takut akan dimarahi karena telat menyiapkan sarapan.
Maxime adalah orang yang sangat teliti dalam setiap pekerjaannya sehingga dia sangat menuntut orang-orang di sekitarnya tepat waktu.
Benar saja, Maxime tiba tepat pukul enam pagi.
Tubuh tinggi Maxime terbalut oleh setelan jas bergaya barat, dia terlihat berkarisma, tampan dan maskulin.
Hanya saja, di mata Reina sosok Maxime terasa dingin dan seperti orang asing.
Tanpa melirik Reina sedikit pun, Maxime langsung berjalan melewatinya, melihat sarapan di atas meja dan berkata dengan sinis, "Setiap hari selalu seperti ini, sudah seperti pembantu saja."
Sudah tiga tahun .... Setiap hari, Reina selalu melakukan hal yang sama, mengenakan baju berwarna abu-abu yang sama, bahkan selalu membalas pesannya dengan kata yang sama: 'Oke'.
Sejujurnya, kalau bukan karena kepentingan bisnis, kalau bukan karena sudah ditipu oleh Keluarga Andara ....
Pembantu?
Suara gemuruh kembali terdengar di telinga Reina, dia tercekat. Namun, entah datang keberanian dari mana, dia bertanya, "Max, apa ada wanita yang kamu cintai?"
Pertanyaan ini sontak membuat ekspresi Maxime berubah. "Maksudnya?"
Reina menatap pria di hadapannya ini dan menahan rasa sakit yang mencekat tenggorokannya, lalu berujar dengan pelan, "Kalau ada yang kamu cintai, kamu boleh menikahinya ...."
Maxime langsung menyela Reina.
"Orang gila."
...
Maxime sudah pergi lagi, sedangkan Reina duduk sendirian di teras sambil menatap kosong tetesan hujan yang masih terus turun di luar.
Suara hujan kadang terdengar jelas, kadang terdengar samar-samar.
Reina melepas alat bantu dengarnya, dunia pun menjadi sunyi.
Sebulan yang lalu, dokter yang memeriksanya berkata, "Nona Reina, saraf dan pusat pendengaran Anda sudah rusak sehingga pendengaran Anda kembali menurun. Kalau terus memburuk, lama-lama Anda bisa benar-benar tuli."
Reina tidak terbiasa dengan dunia yang begitu sunyi, jadi dia pergi ke ruang tamu, menyalakan TV dan menyetel volume sampai batas maksimal. Meski begitu, suara yang sampai di telinga Reina terdengar begitu jauh.
Entah hanya sebuah kebetulan atau tidak, saat ini acara TV yang diputarnya sedang menayangkan wawancara dengan ratu penyanyi internasional, Marshanda Tanuyahya yang kembali ke tanah air.
Tangan Reina yang memegang remot TV gemetar.
Marshanda adalah cinta pertama Maxime.
Setelah bertahun-tahun tidak terlihat, Marshanda tetap cantik seperti biasa, dia terlihat tenang dan lembut di depan kamera. Marshanda bukan lagi Cinderella yang pemalu dan rendah diri seperti dulu saat dia meminta bantuan dari Keluarga Andara.
Ketika wartawan bertanya alasan dirinya kembali ke tanah air, dia menjawab dengan penuh percaya diri dan lantang.
Remot TV di tangan Reina jatuh ke lantai.
Jantung Reina berdebar kencang.
Hujan di luar sepertinya kembali deras.
Reina jadi sangat panik, dia langsung mematikan TV dan pergi membereskan sarapan di atas meja yang belum tersentuh.
Sesampainya di dapur, dia sadar ternyata ponsel Maxime ketinggalan.
Reina mengambil ponsel itu dan tidak sengaja melihat notifikasi pesan yang belum dibaca.
"Kak Max belakangan ini sangat nggak bahagia ya?"
"Aku tahu kamu nggak mencintainya, ayo kita ketemu malam ini, aku kangen banget sama Kak Max."
Layar ponsel meredup, tapi Reina masih tenggelam dalam lamunannya.
Reina memutuskan untuk naik taksi dan pergi ke kantor Maxime.
Selama perjalanan, Reina melihat ke luar jendela, rintik hujan sepertinya tidak pernah berhenti.
Maxime tidak suka Reina datang ke kantornya, jadi setiap kali datang, Reina selalu menggunakan lift barang di pintu belakang.
Ekki Permana, asisten pribadi Maxime melihat kedatangan Reina dan hanya menyapa dengan dingin, "Nona Reina."
Tidak ada seorang pun di sekitar Maxime yang menganggapnya sebagai Nyonya Sunandar.
Keberadaannya hanya dianggap angin lalu.
Maxime mengernyit saat melihat Reina membawakan ponselnya.
Reina selalu seperti ini. Makan siang, dokumen, pakaian, payung atau benda apa pun yang ketinggalan pasti akan Reina bawakan.
"Bukannya sudah kubilang kamu nggak perlu sengaja datang mengantarkan barang-barangku?"
Reina tercengang.
"Maaf, aku lupa."
Sejak kapan daya ingatnya juga ikut memburuk?
Mungkin karena tadi dia begitu ketakutan saat melihat SMS dari Marshanda.
Dia takut Maxime akan tiba-tiba menghilang begitu saja ....
Sebelum pergi, Reina kembali menatap Maxime dan akhirnya menanyakan hal yang tidak bisa dia pendam dalam hatinya, "Max, kamu masih mencintai Marshanda?"
Maxime melihat tingkah Reina akhir-akhir ini sangat aneh.
Bukan hanya sering lupa, tetapi juga suka menanyakan beberapa pertanyaan aneh.
Bagaimana wanita seperti ini pantas menjadi Nyonya Sunandar?
Maxime menjawab dengan kesal, "Kalau nggak ada kerjaan, cari kerja saja sana."
Dulu Reina sudah pernah mencari kerja, tetapi ibunya Maxime, Joanna Debrista, langsung melarang, "Kamu sengaja memberi tahu semua orang di dunia kalau Max punya istri yang cacat?"
Jadi akhirnya, Reina tidak punya pilihan selain melepaskan pekerjaannya, tinggal di Vila Magenta dan menjadi wanita yang memegang gelar Nyonya Sunandar, tetapi tidak pernah dianggap keberadaannya.
Sesampainya di rumah, Reina duduk sendirian di ruang tamu sampai gelap.
Dia tidak bisa tidur.
Ponsel di samping kasurnya berdering.
Dia mendapat telepon dari nomor tidak dikenal.
Reina mengangkatnya dan mendengar suara manis seorang wanita yang selalu membuat Reina panik.
Ya, siapa lagi kalau bukan ... Marshanda.
"Halo? Nana? Apa bisa jemput Max, dia mabuk berat."
Di sebuah kelab mewah bernama Sobernica.
Reina bergegas ke ruang privat tempat Max berada. Sesampainya di sana, dia langsung mendengar canda dan tawa dari sekelompok anak muda yang pastinya semua berasal dari keluarga kaya.
"Marsha, kali ini kamu pulang untuk mengejar Max, CEO kita ini, 'kan? Sekarang waktu yang tepat, ayo cepat nyatakan cintamu!"
Marshanda memiliki paras yang manis dan cantik, juga sangat populer. Apalagi dia adalah cinta pertama Maxime, tentu semua teman-teman Maxime bersedia menjodohkan mereka.
Marshanda tidak ragu-ragu dan langsung berkata pada Maxime, "Max, aku menyukaimu. Ayo kita balikan."
Reina yang saat ini berada di luar pintu privat kebetulan mendengar perkataan ini.
Mereka yang ada di dalam mulai meledek Maxime, terutama Jovan Tambolo, sahabat Maxime.
"Kak Max, ayo terima. Kamu 'kan juga sudah menunggu Marsha selama tiga tahun ini, sekarang dia sudah pulang, ayo tunggu apalagi."
Reina mematung di depan pintu, jantungnya berdebar kencang. Tiba-tiba, pintu ruangan itu dibuka oleh seorang pria dari dalam.
"Nona Reina?"

Bab 2
Semua orang yang ada di ruangan itu menengok ke arah pintu.
Sontak, suasana jadi hening.
Reina melirik Maxime, tatapan pria itu begitu jernih, jelas dia sama sekali tidak mabuk.
Reina sadar dia sudah ditipu Marshanda.
Saat Maxime melihat sosok Reina, bola matanya yang gelap pun menegang.
Sedangkan Jovan dan yang lainnya yang barusan mendukung Maxime untuk menerima perasaan Marshanda, semua tersenyum canggung.
Harusnya Reina tidak datang.
"Nana, jangan salah paham. Jovan cuma bercanda, sekarang Max dan aku hanya teman biasa."
Marshanda-lah yang pertama kali memecah ketenangan.
Sebelum Reina sempat menjawab, Maxime yang kehilangan kesabaran sudah berdiri lebih dulu.
"Nggak perlu menjelaskan apa pun padanya."
Setelah itu, Maxime berjalan ke depan muka Reina dan bertanya, "Mau apa ke sini?"
"Kupikir kamu mabuk, jadi aku datang untuk menjemputmu pulang," jawab Reina jujur.
Maxime mencibir, "Sepertinya kamu nggak ingat sepatah kata pun yang kukatakan, ya."
Maxime mengecilkan suaranya sehingga ucapannya hanya bisa didengar Reina dan Maxime.
"Kamu datang untuk mengingatkan semua orang bahwa tiga tahun lalu aku sudah ditipu olehmu? Kamu pikir mereka sudah lupa kejadian itu?"
Reina terhenyak.
Maxime menatap dengan dingin, "Nggak usah menampakkan diri untuk membuat orang lain sadar akan keberadaanmu, sikapmu ini hanya membuatku semakin membencimu!"
Setelah berkata demikian, Maxime pun balik badan dan pergi meninggalkan Reina.
Reina menatap kosong sosok Maxime dari belakang untuk waktu yang cukup lama.
Para anak orang kaya yang ada di ruang privat itu menatap Reina yang dicampakkan Maxime tanpa simpati sedikit pun.
Jovan yang doyan memprovokasi pun tidak menahan diri dan berkata pada Marshanda yang pura-pura terlihat sedih, "Marsha, kamu ini jadi orang jangan terlalu baik. Apa yang perlu dijelaskan?"
"Kalau bukan karena ditipu Reina, Kak Max pasti akan menikahimu. Kamu jadi nggak perlu pergi jauh ke negara lain dan menjalani kehidupan yang sulit."
Telinga Reina berdengung, tetapi semua perkataan itu terdengar jelas di telinganya.
Reina yang paling mengerti situasi ini.
Terlepas dari Maxime akan menikah dengannya atau tidak, yang jelas dia tidak akan menikahi Marshanda yang tidak berasal dari keluarga mana pun.
Marshanda juga sadar akan fakta ini, itulah sebabnya dia memutuskan untuk putus dengan Maxime dan mengadu nasib di negeri orang.
Namun, kenapa akhirnya semua ini jadi salah Reina?
Sambil membawa payung, Reina berjalan keluar dari Sobernica dan merasa dirinya diselimuti kegelapan.
Tiba-tiba, seorang wanita cantik menghampirinya .... Itu Marshanda!
Malam ini Marshanda sangat cantik, dia mengenakan sepatu hak tinggi dan terlihat sangat bangga.
"Malam ini dingin banget, ya. Bagaimana rasanya datang mencari Max, eh malah diejek olehnya?"
Reina mendengar perkataan Marshanda, tetapi tidak menjawab.
Marshanda juga tidak peduli dan terus bicara.
"Kamu ini kasihan sekali. Sampai sekarang kamu nggak pernah merasa dicintai, 'kan? Apa kamu tahu, dulu waktu Max bersamaku, dia mau memasak untukku bahkan langsung bergegas menemaniku di rumah sakit waktu aku sakit ...."
"Reina, apa Max pernah bilang dia mencintaimu? Haha, padahal waktu denganku dulu, setiap hari dia bilang dia mencintaiku."
Reina mendengarkan dalam diam sembari mengingat kembali waktu tiga tahun yang dia habiskan bersama Maxime.
Maxime tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di dapur.
Waktu Reina sakit, tidak ada sepatah kata perhatian yang terlontar dari mulut Maxime.
Apalagi kata 'cinta', tentu tidak ada kata ini di kamus Maxime.
Malamnya, Reina tidak bisa tidur.
Ternyata pria yang dicintainya selama 12 tahun ini pernah sangat mencintai wanita lain dengan tulus.
Di saat seperti ini, Reina rasanya ingin menyerah saja.
Keesokan harinya ....
Maxime akhirnya pulang dan menatap Reina dengan sangat dingin.
"Ternyata seenggan itu kamu berpisah dengan uang Keluarga Sunandar? Kamu nggak mau sampai kehilangan aku, Maxime si mesin penghasil uang ini, 'kan!"
Reina tertegun dan bertanya-tanya apa yang terjadi pada Maxime hari ini. Reina pun menjelaskan, "Aku nggak pernah minta uang ke kamu."
Yang ada di mata Reina adalah sosok Maxime seorang, bukan hartanya.
Maxime tersenyum menghina.
"Lalu, kenapa pagi-pagi sekali ibumu datang ke kantorku dan memohon padaku supaya kamu bisa hamil?"
Reina bingung.
Dia menatap bola mata hitam Maxime yang begitu dingin, barulah Reina sadar kalau pria ini bukan memperkarakan masalah semalam.
Maxime tidak ingin buang waktu lebih lama dan langsung pergi setelah berkata, "Reina, kalau kamu mau tetap menjadi anggota Keluarga Sunandar dan Keluarga Andara nggak bangkrut, suruh ibumu tenang sedikit."
...
Reina baru saja mau pergi mencari ibunya, ternyata ibunya sudah mendatangi Reina duluan.
Tidak seperti biasanya, Treya yang sedari dulu terlihat dingin kali ini datang dengan cemas. Dia langsung menggenggam tangan Reina dan berujar dengan lembut, "Nana, cepat pergi memohon pada Max supaya dia mau punya anak denganmu. Lewat prosedur bayi tabung juga nggak apa-apa."
Bayi tabung?
Reina menatap ibunya dengan tatapan kosong dan mendengarkan ocehan ibunya.
"Marshanda sudah memberitahuku, ternyata selama ini Max sama sekali nggak pernah menyentuhmu?"
Kalimat ini rasanya langsung menelan habis perasaan yang tersisa di hati Reina.
Reina tidak paham untuk apa Maxime memberi tahu Marshanda tentang hal ini.
Mungkin karena pria itu benar-benar mencintainya ....
Begitu terpikir akan hal ini, tiba-tiba Reina merasa lega.
"Bu, sudahlah."
Treya tertegun dan mengernyit, "Apa?"
"Aku lelah, aku mau bercerai saja ...."
"Plak!"
Sebelum Reina selesai bicara, Treya sudah lebih dulu menampar wajah Reina dengan keras.
Citranya sebagai seorang ibu yang penuh kasih sudah sirna, dia menunjuk Reina dan berkata, "Berani sekali kamu minta cerai? Memangnya kamu siapa? Kamu mau meninggalkan Keluarga Sunandar? Kamu pikir siapa pria bodoh yang akan menikahi wanita cacat dan bekas sepertimu?"
Tubuh Reina terasa mati rasa.
Sejak kecil, Treya memang tidak pernah menyayangi putrinya.
Treya adalah seorang penari terkenal.
Namun, Reina yang terlahir dengan gangguan pendengaran adalah momok dalam hidupnya.
Oleh karena itu, Treya tega membiarkan putrinya tumbuh dalam perawatan seorang pengasuh. Dia baru memanggil Reina pulang ke Keluarga Andara waktu Reina cukup umur untuk masuk sekolah.
Dulu kata orang, seorang ibu tidak mungkin tidak menyayangi anak-anaknya.
Jadi, Reina berjuang keras untuk menjadi yang terbaik sehingga bisa menyenangkan ibunya.
Meski memiliki gangguan pendengaran, di sekolah Reina menduduki peringkat atas dalam pelajaran tari, seni musik, sastra dan bahasa, seni lukis, serta pelajaran lainnya.
Namun, sepintar apa pun Reina di sekolah, ibunya tidak pernah menyayanginya.
Seperti kata Treya tadi, Reina adalah orang cacat.
Yang cacat bukan hanya secara fisik, tetapi juga dalam urusan keluarga dan percintaan ....
Setelah Treya pergi, Reina menutupi bekas telapak tangan merah yang terjiplak di wajahnya dengan bedak, lalu mengemasi barang-barang pribadinya dalam diam.
Selama tiga tahun pernikahan, harta pribadinya hanya barang-barang di koper ini.
Setelah selesai, Reina mengumpulkan keberanian dan mengirim pesan pada Maxime.
"Apa malam ini ada waktu? Ada yang mau kubicarakan."
Maxime tidak membalas pesannya.
Tatapan Reina meredup, dia tahu sekarang Maxime bahkan tidak sudi membalas pesannya.
Akhirnya, Reina hanya bisa menunggu Maxime pulang.
Dia pikir malam ini Maxime tidak akan kembali.
Namun, tepat pukul 12 malam, pria itu pulang.
Reina tidak tidur, dia menghampiri Maxime dan dengan terampil membantu sang suami melepaskan mantel dan membawakan tasnya.
Serangkaian tindakannya ini sangat mirip dengan pasangan pada umumnya.
"Lain kali, jangan sembarangan mengirimiku pesan."
Suara dingin Maxime memecah keheningan.
Tangan Reina gemetar saat dia menggantungkan mantel Maxime, lalu dia bergumam, "Oke, nggak lagi."
Maxime tidak menyadari ada yang salah dalam nada bicara Reina, dia langsung pergi ke ruang kerja.
Selama ini, setiap kali pulang Maxime selalu menghabiskan waktu di ruang kerjanya.
Mungkin dalam persepsi Maxime, dunia orang tuli itu sunyi.
Atau mungkin dia sama sekali tidak peduli pada Reina.
Oleh karena itu, sesampainya di ruang kerja, Maxime lanjut bekerja dan mendiskusikan urusan bisnis termasuk tentang cara mengakuisisi Grup Andara ....
Seperti biasa, Reina membawakannya semangkuk sup. Dia bisa mendengar Maxime yang sangat antusias mendiskusikan cara untuk mengakuisisi perusahaan ayahnya. Perasaanya tidak bisa dijelaskan.
Reina sadar adiknya itu tidak berguna dan suatu hari nanti Grup Andara pasti akan diambil alih seseorang. Hanya saja, dia tidak menyangka orang yang paling cepat bertindak adalah suaminya sendiri.
"Max."
Sebuah suara menginterupsi diskusi Maxime.
Maxime tertegun. Entah karena merasa bersalah atau alasan lain, dia langsung menutup telepon dan laptopnya.
Reina pura-pura tidak memperhatikan gerak-gerik Maxime. Dia masuk dan meletakkan sup itu di hadapan Maxime.
"Max, cepat istirahat setelah minum sup ini. Kesehatan lebih penting."
Entah kenapa, hati Maxime yang awalnya tegang menjadi rileks saat dia mendengarkan suara lembut Reina.
Sepertinya Reina tidak mendengar rencananya tadi.
Mungkin karena merasa bersalah, Maxime menghentikan Reina yang beranjak pergi.
"Tadi katanya ada yang mau kamu bicarakan? Ada apa?"
Reina pun menoleh dan berujar dengan lembut, "Aku mau tanya apa siang nanti ada waktu? Aku mau mengurus surat perceraian."

Bab 3
Suara Reina begitu tenang dan ringan.
Seolah perceraian ini hanya hal sepele.
Pupil mata Maxime menegang.
"Apa katamu?"
Selama pernikahan mereka, seketerlaluan apa pun perlakuan Maxime padanya, Reina tidak pernah menyebut kata 'cerai'.
Sebenarnya Maxime paham betul betapa Reina sangat mencintainya.
Tatapan Reina yang awalnya kosong saat ini berubah menjadi sangat tajam.
"Pak Maxime, selama ini aku sudah menjadi penghalangmu."
"Kita cerai saja."
Maxime meremas tinjunya kuat-kuat.
"Kamu dengar pembicaraanku barusan, 'kan? Keluarga Andara sudah berada di ujung jurang, apa bedanya menikah denganku atau menikah dengan orang lain?"
"Apa tujuanmu bercerai? Kamu mau anak atau mau uang? Atau mau mengancamku supaya aku nggak melakukan apa pun pada Keluarga Andara?" Maxime bertanya dengan dingin.
"Jangan lupa, aku sama sekali nggak mencintaimu, ancamanmu nggak berguna untukku!"
Sosok Maxime di mata Reina tiba-tiba menjadi kabur. Reina merasa tenggorokannya tercekat dan telinganya sakit. Bahkan dengan alat bantu dengar, dia tidak bisa mendengar dengan jelas perkataan Maxime selanjutnya.
Jadi, Reina hanya bisa menjawab pertanyaan Maxime, "Aku nggak mau apa-apa."
Takut Maxime menyadari ada yang janggal, Reina pun buru-buru meninggalkan ruang kerja.
Maxime menatap punggung Reina, entah kenapa dia belum pernah sekesal ini.
Dia tidak pernah mengendalikan emosinya demi orang lain, jadi dia langsung membalikkan meja di depannya.
Sup yang dimasak Reina pun tumpah ....
...
Reina kembali ke kamar dan menegak banyak obat.
Dia menyentuh telinganya dan mendapati jarinya terlumuri darah segar.
Mungkin karena efek obat, saat matahari baru saja terbit di ufuk timur, pendengaran Reina sudah pulih.
Reina melamun sambil memandangi sinar matahari yang menembus dari celah jendelanya.
"Hujan sudah berhenti."
Hari ini, Maxime tidak pergi ke mana-mana.
Sedari pagi dia hanya duduk di sofa dan menunggu Reina yang menyesal datang minta maaf padanya.
Selama tiga tahun pernikahan, ada kalanya amarah Reina meledak.
Namun, setiap kali setelah selesai marah dan meluapkannya dalam tangisan, tidak berapa lama Reina pasti akan datang minta maaf.
Maxime pikir kali ini pasti sama saja.
Maxime melihat Reina yang bersiap pergi setelah selesai mandi. Seperti biasa wanita itu mengenakan pakaian berwarna gelap, tetapi kali ini sambil menyeret koper dan ada sebuah dokumen di tangannya.
Ketika Reina menyerahkan dokumen itu pada Maxime, barulah dia menyadari kalau itu adalah dokumen persetujuan perceraian.
"Max, telepon aku kalau sudah ada waktu."
Reina mengucapkan kalimat ini dengan santai dan tanpa ekspresi apa pun, lalu keluar dari rumah sambil menyeret kopernya.
Setelah hujan berlalu, cuaca begitu cerah.
Seketika, Reina merasa seperti terlahir kembali.
Maxime hanya berdiri mematung sambil meremas dokumen perceraian itu.
Setelah beberapa lama, barulah Maxime tersadar dari lamunannya.
Hari ini adalah hari terakhir perayaan hari ziarah makam.
Di hari seperti ini tahun-tahun sebelumnya, Maxime biasanya membawa Reina pulang ke kediaman utama untuk berdoa untuk para leluhur.
Tentu semua kerabat Keluarga Sunandar memperlakukan Reina dengan berbeda.
Hari ini, Maxime sendirian.
Maxime sangat gembira.
Di kediaman utama.
Joanna Debrista, ibu Maxime, juga kerabat lain bingung saat melihat Maxime datang sendirian.
Biasanya di saat seperti ini, Reina sebagai cucu menantu tertua akan datang paling awal dan pulang paling terakhir untuk mengambil hati kerabat lainnya.
Apa hari ini dia tidak datang?
Joanna mengernyit dan bertanya pada putranya, "Max, mana Reina?"
Tatapan Maxime menjadi dingin saat mendengar pertanyaan ini.
"Dia minta cerai, lalu kabur dari rumah."
Semua orang tercengang dan suasana sontak menjadi sunyi. Tidak ada yang memercayainya.
Joanna juga sangat terkejut.
Di dunia ini, selain orang tuanya sendiri, tidak ada yang lebih mencintai Maxime selain Reina.
Tujuh tahun lalu, Maxime terluka parah dan Reina-lah yang menyelamatkannya.
Empat tahun lalu, keduanya sudah bertunangan. Suatu hari Maxime pergi ke Kota Debai untuk keperluan bisnis, malangnya terjadi sesuatu masalah.
Semua orang mengatakan Maxime sudah mati, hanya Reina yang tidak mau memercayainya. Tanpa mengucap sepatah kata pun, dia langsung pergi ke Kota Debai.
Di kota yang ada di negara asing itu dia berjuang sendirian mencari Maxime selama tiga hari penuh.
Begitu pula setelah menikah, Reina selalu sangat berhati-hati dalam mengurus urusan rumah tangga dan memperlakukan orang-orang di sekitar Maxime termasuk sekretarisnya dengan baik.
Bagaimana bisa Reina yang seolah tidak bisa hidup tanpa Maxime minta cerai?
Kenapa?
Joanna tidak paham, tetapi dia senang wanita itu sudah melepaskan putranya.
"Mau diusahakan seperti apa pun, wanita sepertinya nggak bisa naik kelas untuk sederajat dengan kita. Baguslah kalau cerai."
"Dia sama sekali nggak pantas untukmu."
Begitu ibu Maxime berkomentar, yang lain pun ikut menimpali.
"Ya, benar itu. Kak Max masih muda dan tampan, apalagi sekarang sedang berada di puncak kejayaan, sayang Reina sudah menjadi penghalang selama ini."
Acara yang harusnya diisi dengan mendoakan para leluhur berubah jadi gosip yang menghina Reina.
Mereka semua membuat sosok Reina seperti orang jahat.
Anehnya, Maxime harusnya ikut merasa senang, 'kan? Namun, kenapa ejekan orang-orang itu membuatnya kesal?
Maxime pun pulang lebih awal.
Langit mulai gelap saat dia sampai di Vila Magenta.
Maxime membuka pintu dan melangkah masuk, dirinya langsung diselimuti oleh kegelapan dan membuatnya sadar bahwa Reina sudah benar-benar pergi.
Maxime melepas sepatunya, lalu melemparkan mantelnya ke mesin cuci.
Entah mengapa hari ini rasanya dia begitu lelah.
Maxime berniat mengambil sebotol anggur dari tempat penyimpanan anggur untuk merayakan kepergian Reina.
Namun, dia baru sadar bahwa tempat itu terkunci dan dia tidak punya kuncinya.
Maxime tidak suka keberadaan ada orang luar, sehingga tidak ada pembantu di vila ini.
Selama ini, Reina-lah yang sudah mengurus semuanya.
Maxime akhirnya hanya bisa kembali ke kamar dan membuka ponselnya. Tidak ada notifikasi lain selain urusan pekerjaan, sudah sehari berlalu dan Reina masih belum menelepon atau mengiriminya pesan.
"Cih! Aku mau lihat sampai berapa lama kamu tahan?"
Maxime membuang asal ponselnya, lalu berjalan menuju dapur.
Dia langsung tercengang begitu membuka kulkas.
Karena ternyata selain makanan, banyak sekali berbagai macam obat tradisional.
Maxime mengambil salah satu bungkus itu dan membaca nama obatnya, "Sehari lima bungkus, ramuan khusus kesuburan."
Obat kesuburan ....
Maxime bisa mencium bau tidak sedap dari obat-obatan itu.
Ah, akhirnya dia tahu dari mana bau tidak sedap tubuh Reina yang tercium olehnya dulu.
Maxime mencibir, seberapa banyak pun Reina minum obat, dia tidak mungkin hamil karena mereka berdua tidak pernah berhubungan intim.
...
Di sisi lain, di sebuah motel kecil di jalan yang gelap.
Reina yang lemah membuka matanya perlahan, kepalanya terasa sangat sakit dan lingkungan di sekitarnya sangat sunyi.
Dia tahu kondisinya semakin buruk.
Biasanya, dia tetap bisa mendengar sedikit suara meski tanpa alat bantu dengar.
Reina berdiri dengan meraba-raba, mengambil obat dari meja di samping tempat tidur dan menjejalkannya ke dalam mulut dengan paksa. Rasa obat itu sangat pahit dan sepat.
Kemarin, Reina pergi dari Vila Magenta yang sudah ditinggalinya selama tiga tahun.
Dia pulang ke rumah orang tuanya.
Namun, baru saja sampai di depan pintu, dia mendengar ibu dan adiknya, Diego Andara sedang berdiskusi akan menikahkannya dengan kakek tua berusia 80-an tahun setelah Keluarga Sunandar mendepaknya ....
Reina memandang pintu dengan tatapan kosong, dia sadar sekarang dia sudah tidak punya rumah.
Meski belum makan apa pun selama dua hari, Reina tidak merasa lapar.
Hanya saja dunianya terasa begitu hening, begitu sunyi.
Sepertinya tahun ini Kota Simaliki lebih sering diguyur hujan dibanding tahun-tahun kemarin.
Reina memandangi para pejalan kaki yang bergegas mencari tempat berteduh di luar sana, kebanyakan mereka bersama orang lain, baik berdua atau bertiga, hanya Reina yang sendirian.
Reina yang sudah tidak tahan lagi pun membeli tiket ke luar kota, dia pergi ke sebuah desa untuk mendatangi orang yang sudah mengasuhnya dari kecil, Lyann Kintara.
Reina sampai di tempat tujuan sekitar jam sembilan malam.
Waktu Lyann melihat Reina, wajah ramahnya terlihat sangat terkejut.
"Nana ...."
Melihat dirinya disambut dengan senyum ramah Lyann, hidung Reina terasa masam. Dia mengulurkan tangan untuk memeluknya, "Bu Lyann ..."
Karena alasan kesehatan, Lyann tidak pernah menikah dan tentunya tidak punya anak kandung.
Bagi Reina, Lyann sudah seperti ibu kandungnya sendiri.
Malamnya. Reina bersandar di pelukan Lyann, seolah kembali ke masa kecilnya dulu.
Lyann memeluknya dan menyadari tubuh Reina sangat kurus, bahkan sudah seperti tulang yang terbungkus kulit.
Tangan Lyann yang ada di punggung kurus Reina tidak bisa berhenti gemetar. Dia berusaha menenangkan Reina. Dia bertanya dengan hati-hati, "Nana, apakah Max memperlakukanmu dengan baik?"
Reina tercekat waktu mendengar nama Maxime, awalnya dia ingin membohongi Lyann dan mengatakan semuanya baik-baik saja ....
Namun, dia tahu Lyann bukan wanita bodoh.
Kini setelah Reina memutuskan untuk pergi, dia tidak ingin lagi membohongi dirinya sendiri atau orang lain yang mencintainya.
"Wanita yang dia cintai sudah kembali. Aku akan melepaskannya dan menceraikannya."
Lyann tertegun tidak percaya.
Bukan hanya sekali Reina mengatakan padanya kalau dia ingin menghabisi hari tua bersama Maxime.
Lyann tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya dia hanya menghibur Reina dengan mengatakan bahwa ada begitu banyak orang di dunia ini, pasti ada seseorang yang akan mencintainya dengan tulus.
Reina mengangguk dalam diam, dengungan di telinganya menutupi suara Lyann yang menenangkan.
Jarang sekali Reina bisa tidur nyenyak, tetapi malam itu dia terbangun dan sangat terkejut waktu melihat noda darah di seprai bermotif bunga kasurnya.
Reina menyentuh telinga kanannya dan merasa ada sesuatu yang lengket.
Reina membuka jarinya dan melihat ada noda darah ....

Bab 4
Alat bantu dengarnya terselimuti darah ....
Pupil mata Reina bergetar, dia buru-buru menyeka telinganya dengan tisu, melepas seprai dan mencucinya.
Reina takut akan ketahuan karena Lyann pasti mengkhawatirkan kondisinya. Jadi, dia diam-diam mengemasi semua barangnya lalu membuat alasan asal dan berpamitan pada Lyann.
Sebelum pergi, diam-diam Reina meninggalkan sebagian uang tabungannya di meja di samping tempat tidur.
Lyann mengantar Reina ke stasiun sambil melambaikan tangan dengan enggan.
Lyann sangat mengkhawatirkan Reina yang sangat kurus, jadi dia menghubungi orang dalam Grup Sunandar.
Sekretaris Maxime langsung melapor begitu tahu pengasuh Reina yang menelepon.
Hari ini adalah hari ketiga sejak kepergian Reina.
Ini juga pertama kalinya Maxime menerima telepon yang berhubungan dengan Reina.
Maxime sedang duduk di kantornya dan begitu mendapat kabar ini, dia sangat senang. Benar 'kan perkiraannya, wanita itu tidak akan bertahan lebih dari tiga hari.
Suara Lyann pun terdengar dari ujung telepon.
"Pak Maxime, saya adalah pengasuh Reina sedari kecil. Saya mohon, bisakah Anda bermurah hati dan memperlakukan Reina dengan lebih baik?"
"Dia nggak sekuat kelihatannya. Waktu baru lahir, Nyonya Treya langsung membuangnya dan menyerahkannya padaku karena dikira tuli."
"Dia baru boleh pulang ke rumah setelah menginjak usia masuk sekolah. Tapi di rumahnya sendiri, hanya Tuan Besar Anthony yang menyayanginya sedangkan yang lain memperlakukannya seperti pembantu ...."
"Pak Maxime dan Tuan Besar Anthony adalah orang yang paling dia sayangi, anggap saja saya memohon pada Anda, tolong perlakukan dia dengan baik ...."
Maxime merasa tertekan saat mendengar suara Lyann yang mulai terisak di ujung telepon.
"Hmph, kenapa bukan dia sendiri yang ngomong padaku? Nggak berani? Sampai perlu orang sepertimu yang mengatakannya padaku."
Maxime menjawab dengan nada dingin, "Mau Reina jadi apa lah, nggak ada hubungannya denganku!"
"Dia pantas hidup seperti itu!"
Setelah itu, Maxime langsung menutup telepon.
Lyann hanya tahu Maxime itu pria yang baik karena Reina memang menceritakannya seperti itu.
Baru sekarang akhirnya Lyann sadar ternyata pria ini begitu kejam dan sama sekali tidak pantas untuk Reina.
...
Reina sedang duduk di mobil dalam perjalanan pulang ke kota.
Ponsel Reina tiba-tiba bergetar, dia membukanya dan mendapati sebuah pesan masuk dari Maxime.
"Bukannya kamu minta cerai? Sampai ketemu besok jam 10 pagi."
Reina menatap kosong pesan itu dan membalas singkat, "Oke."
Sepatah kata itu rasanya menusuk mata Maxime.
Sepanjang hari Maxime tidak bisa fokus.
Akhirnya dia mengajak teman-temannya minum-minum di sebuah kelab.
Marshanda juga datang.
"Hari ini kalau belum mabuk, aku nggak akan pulang."
Jovan duduk di samping Maxime dan bertanya tentang Reina, "Bagaimana kabar si tuli?"
Maxime mengangkat alisnya.
"Nggak perlu menyebutkan namanya lagi, besok kami akan urus surat cerai."
Jovan tercengang tidak percaya. "Serius?"
Mata indah Marshanda berbinar, lalu menuangkan anggur ke gelas Maxime. "Max, aku bersulang untuk hidupmu yang baru."
Malam ini Maxime minum gila-gilaan.
Marshanda ingin mengantarnya pulang, tetapi Maxime menolak.
"Nggak usah, nggak pantas."
Karena besok mereka akan bercerai, mungkin Reina akan pulang malam ini.
Marshanda tidak senang atas penolakan ini, dia pun bertanya, "Kenapa? Toh kalian sudah pasti cerai, apanya yang nggak pantas?"
"Kamu takut hubungan kita ketahuan?"
Hubungan mereka?
Maxime memicingkan mata.
"Jangan berpikir macam-macam."
Setelah masuk mobil, Maxime tetap menyuruh orang untuk mengantar Marshanda pulang.
Sepanjang perjalanan.
Maxime terus melirik ponselnya untuk melihat apa Reina ada mengirimkan pesan untuknya.
Nihil ....
Sesampainya di pintu Vila Magenta, Maxime kembali disambut oleh suasana gelap gulita.
Maxime terlihat kesal, dia masuk rumah dan menyalakan lampu, tetap tidak ada sosok Reina di sana.
Dia tidak pulang ....
Kondisi rumah sama persis seperti saat ditinggalkan Reina.
Efek anggur yang tadi Maxime minum sangat kuat. Dia duduk di sofa dan merasa tidak nyaman, tetapi setelah beberapa saat dia pun tertidur dan mimpi buruk.
Dalam mimpi, dia melihat Reina yang berlumuran darah tersenyum padanya dan berkata, "Max, aku sudah nggak mencintaimu."
Maxime langsung terbangun karena kaget dan mendapati matahari sudah terbit.
Maxime memijit pelipisnya, lalu pergi mandi. Setelah itu dia berganti pakaian memakai setelan jas dan pergi ke kantor sipil.
Di pintu masuk kantor sipil.
Maxime melihat Reina yang mengenakan pakaian berwarna gelap sedang berdiri di bawah pohon besar yang tidak jauh dari situ.
Di bawah gerimis hujan dan dilihat dari jauh, Reina terlihat kurus kering sampai seakan ditiup angin pun bisa terbang.
Maxime teringat sosok Reina waktu mereka baru saja menikah. Wanita itu terlihat sangat ceria dan menawan seperti gadis muda. Beda jauh dengan penampilannya sekarang yang begitu sendu, sudah seperti tanaman hidup segan mati tak mau.
Maxime berjalan lurus menghampiri Reina sambil memegang payung.
Butuh waktu lama sampai Reina menyadari kehadirannya.
Selama tiga tahun ini Maxime tidak banyak berubah, dia tetap tampan, berkarisma, hanya lebih dewasa dan terampil dari sebelumnya.
Sesaat, Reina tenggelam dalam lamunannya. Entah kenapa tiga tahun terakhir yang rasanya berlalu dalam sekejap mata membuatnya merasa seperti sudah menghabiskan seluruh waktu hidupnya.
Maxime mendatangi Reina dan menatapnya dengan dingin, dia sedang menunggu Reina minta maaf.
Sudah cukup 'kan marah selama tiga hari?
Tidak disangka, Reina malah berkata seperti ini padanya, "Maaf sudah mengganggu waktu kerjamu, ayo kita masuk."
Maxime tertegun, tetapi langsung kembali tenang.
"Jangan sampai menyesal."
Setelah itu, Maxime berjalan masuk ke kantor sipil.
Reina menatap punggung Maxime dengan hati pilu.
Apa dia akan menyesal?
Entahlah.
Di loket pengurusan perceraian.
Petugas bertanya pada keduanya apa mereka sudah mantap untuk bercerai, Reina berkata dengan tegas, "Ya."
Tatapan tegas Reina membuat Maxime merasa tertekan.
Setelah selesai mengurus administrasi, mereka diberikan masa tenang dan harus kembali sebulan lagi.
Kalau mereka tidak datang, maka permohonan cerai mereka otomatis batal.
Setelah keluar dari kantor sipil, Reina menatap Maxime dengan tenang dan berkata, "Sampai jumpa bulan depan. Jaga dirimu baik-baik."
Setelah itu, Reina berjalan menerobos hujan dan mencegat sebuah taksi.
Maxime mematung di tempat sambil menatap taksi yang pergi, ada sebuah rasa tak terjelaskan yang timbul di hatinya.
Mungkin ... rasa lega?
Karena Maxime tidak perlu lagi berurusan dengan Reina, dia tidak lagi akan ditertawakan orang lain karena mempunyai istri yang cacat.
...
Reina bersandar di jendela taksi, dia melamun sambil mengamati tetesan air hujan yang meluncur ke bagian bawah jendela.
Si sopir melirik kaca spion dan melihat ada darah mengalir dari telinga Reina, sopir pun berteriak kaget.
"Nona, Nona!"
Sopir sudah berteriak beberapa kali tetapi Reina tidak menjawab.
Sopir pun buru-buru menghentikan mobilnya.
Reina bingung, kenapa mobilnya berhenti padahal dia belum sampai tujuan.
Reina menatap sopir dan mendapati mulut si sopir membuka tutup seolah sedang bicara dengannya, Reina sadar saat ini dia tidak dapat mendengar.
"Maaf Pak, ada apa? Aku nggak bisa dengar."
Sopir pun mengetik di ponselnya untuk memberi tahu Reina kondisi telinganya.
Reina mengulurkan tangannya perlahan dan merasakan sentuhan hangat di ujung jarinya.
Sepertinya dia sudah terbiasa.
"Nggak apa-apa, aku sudah terbiasa, nggak masalah."
Pendengaran Reina memang lemah, tetapi awalnya tidak sampai berdarah seperti ini.
Ini semua bermula saat dua tahun lalu, sahabat Maxime, Jovan mendorongnya ke kolam renang.
Reina tidak bisa berenang sehingga dia hampir tenggelam dan gendang telinganya bengkak, waktu itu dia hampir saja mati.
Setelah dirawat di rumah sakit, gendang telinganya membaik.
Jelas-jelas sebelumnya sudah sembuh, tetapi belakangan entah mengapa kambuh lagi.
Si sopir khawatir dan membawanya ke rumah sakit terdekat.
Reina mengucapkan terima kasih, lalu turun mobil dan pergi menemui dokter sendirian.
Reina pergi ke dokter langganannya.
"Dokter Vino, sepertinya ingatanku belakangan ini sangat buruk, aku sering lupa apa yang sedang aku lakukan," jelas Reina.
Kejadian ini terjadi lagi pagi ini. Tadi pagi waktu bangun, dia butuh waktu cukup lama untuk mengingat bahwa hari ini dia punya jadwal mengurus perceraian dengan Maxime.
Dokter tampak sedih dan khawatir saat membaca laporan diagnosis terbaru Reina.
"Nona Reina, saya sarankan Anda melakukan tes lain seperti tes psikologi."
Tes psikologi ....
Reina mengikuti saran dokter dan memeriksakan kondisi psikologisnya.
Hasilnya, dia didiagnosis menderita depresi.
Pasien yang menderita depresi berat bisa kehilangan ingatan.
Sebelum pulang ke hotel, Reina membeli buku catatan dan sebuah pulpen. Dia mencatat semua hal yang terjadi beberapa hari belakangan dan meletakkan buku itu di samping tempat tidurnya. Esok pagi saat bangun, Reina akan membaca catatannya untuk mengingat kembali cerita hidupnya.
Semua orang heboh saat mendengar kabar perceraiannya dengan Maxime.
Malam itu, Treya meneleponnya berkali-kali, tetapi Reina tidak mendengarnya.
Keesokan paginya, barulah Reina melihat tumpukan pesan dari Treya.
"Sekarang kamu ada di mana?"
"Kamu pikir kamu ini siapa? Bahkan kalau mau bercerai, harusnya Maxime yang menceraikanmu!"
"Benar-benar lintah nggak berguna! Waktu kamu menikah, ayahmu kecelakaan, sekarang setelah bercerai, kamu ingin Keluarga Andara bangkrut?"
Reina sudah terbiasa dengan pesan kasar ini.
Reina membalas.
"Bu, mulai sekarang kita harus mandiri, jangan terlalu bergantung pada orang lain."
Tidak lama kemudian, Treya membalas pesannya.
"Dasar wanita licik nggak berperasaan! Harusnya aku nggak melahirkanmu!"
Reina tidak membalas lagi dan meletakkan ponselnya di samping.
Reina sudah membayangkan, sebulan lagi dia sudah resmi bercerai dengan Maxime, setelah itu dia akan meninggalkan Kota Simaliki dan memulai hidup baru.
...
Hari terus berlalu, kesehatan Reina semakin memburuk dari hari ke hari.
Frekuensinya menjadi tuli semakin sering dan terkadang butuh waktu lama untuk pulih.
Daya ingatnya juga menurun drastis.
Mungkin kecacatan pendengarannya tidak bisa sembuh, tetapi depresi bisa.
Jadi, Reina ingin membahagiakan dirinya sendiri dengan menyibukkan diri.
Dia mendaftar menjadi relawan untuk merawat para lansia dan yatim piatu.
Ternyata kehadirannya cukup membantu, Reina seakan menemukan arti hidup.
Beberapa hari kemudian, di suatu pagi ....
Setelah bangun, Reina langsung membaca buku catatannya, lalu bersiap pergi ke panti asuhan.
Namun, begitu melihat ponselnya, Reina mendapati ada tumpukan pesan yang belum dibaca.
Pesan pertama dari Treya.
Selanjutnya dari adiknya, Diego.
Terakhir dari Marshanda ....
Reina membacanya satu per satu.
Pesan dari Treya: "Selamat, semua terjadi seperti rencanamu. Keluarga Andara bangkrut."
Pesan dari Diego: "Sembunyi saja sana, aku belum pernah melihat kakak yang begitu kejam dan pengecut sepertimu."
Pesan dari Marshanda: "Reina, turut berbela sungkawa ya. Sebenarnya bagus sih, karena Grup Andara pasti bisa lebih maju di tangan Max."
Pesan dari Marshanda: "Karena dulu Keluarga Andara sudah membantuku, katakan saja kalau ada yang bisa kubantu, kalau aku bisa, pasti akan kutolong."
Reina yang sudah hampir memutus koneksi dengan dunia luar masih belum mengerti apa yang terjadi.
Tidak berapa lama, berita hangat tersaji di hadapannya.

Bab 5
Reina membuka berita dan melihat konferensi yang diadakan Grup Sunandar, beritanya Maxime telah berhasil mengakuisisi Grup Andara.
Mulai sekarang, Grup Andara sudah punah dari dunia ini ....
...
Kehidupan Maxime akhir-akhir ini sangat menyenangkan.
Setelah berhasil mengakuisisi Grup Andara, balas dendam yang sudah ditunggu-tunggu Maxime pun terbalaskan.
Jovan tersenyum seraya berkata, "Akhirnya Keluarga Andara kena karma karena sudah menipumu tiga tahun yang lalu."
Jovan mengganti topik pembicaraan dan bertanya pada Maxime yang sedang bekerja, "Kak Max, apa si tuli itu datang memohon padamu?"
Tangan Maxime yang sedang menandatangani dokumen berhenti bergerak.
Entah mengapa belakangan ini selalu saja ada orang yang menyebut nama Reina.
"Nggak."
Maxime menjawab dengan dingin.
Jovan tercengang, setelah masalah sebesar ini terjadi di Keluarga Andara, Reina tetap diam?
Dia melanjutkan, "Jangan-jangan dia sudah sadar akan semua perbuatannya?"
"Katanya ibu dan adiknya sedang mencarinya ke mana-mana, mereka nggak tahu di mana si tuli bersembunyi."
Jovan terus mengoceh.
Maxime mengernyit, tiba-tiba dia merasa kesal.
"Keluar sana!"
Jovan tercengang.
Dia melirik Maxime dan mendapati ternyata pria itu marah. Dia tidak berani berkata apa-apalagi dan buru-buru meninggalkan kantor CEO.
Di luar ruangan, Jovan mengeluarkan ponselnya dan menelepon, "Reina sudah ketemu?"
"Sudah, dia ada di motel di Jalan Gandaria."
Jovan meminta asistennya mengirimkan titik lokasi, lalu menuju ke sana.
Reina sudah menjadi penghalang Maxime dan Marshanda selama tiga tahun, meski sekarang dia sudah setuju bercerai, Jovan tidak akan membiarkan hal ini begitu saja.
Bagaimanapun, Marshanda adalah penolongnya.
Di luar sedang hujan.
Setelah selesai dengan tugas relawannya, Reina pergi ke rumah sakit untuk menebus obat, lalu berjalan menuju motel sambil memegang payung.
Hanya ada segelintir orang di jalan.
Sambil menyetir, tatapan Jovan terpaku pada punggung kurus Reina.
Dia sengaja menambah kecepatan dan melewati Reina.
Tubuh Reina jadi terciprat genangan air.
Reina menoleh dengan tatapan kosong.
Jovan melirik Reina dari kaca spionnya.
Mobil Bugatti abu-abu .... Reina kenal mobil mewah ini. Ya, ini mobil Jovan.
Reina buang muka dan pura-pura tidak melihatnya.
Jovan tentu tidak pergi begitu saja, dia memperlambat laju mobilnya dan mengikutinya dari dekat, "Hei tuli, sekarang sudah jadi orang yang tahu diri? Kamu nggak menyapaku?"
"Bukannya dulu kamu suka sekali menyapa dengan riang setiap kali melihatku? Bukannya dulu kamu suka menjilatku?"
Reina mendengarkan semua penghinaan itu tanpa ekspresi.
Karena cintanya pada Maxime, Reina selalu berusaha sebaik mungkin untuk menyenangkan semua orang di sekitar Maxime, termasuk teman-temannya.
Pikirnya, suatu hari nanti keluarga dan teman-teman Maxime akan menerimanya.
Reina terlalu polos, dia tidak tahu kejamnya dunia.
Suatu hari di sebuah pesta, Jovan memberi tahu Reina secara blak-blakan bahwa dia adalah teman Marshanda.
Untuk membela Marshanda, dia bahkan melepaskan martabat sebagai seorang anak orang kaya dan memaki Reina yang tidak tahu malu.
Setelah itu, dia bahkan ingin membunuh Reina dengan mendorongnya ke kolam renang.
Sejak saat itu, Reina menghindarinya.
Jovan melihat Reina mengabaikannya dan tidak menyahut sepatah kata pun. Dia menghentikan mobil, membuka pintu, melangkah menuju Reina dan menarik lengannya.
"Trik apalagi yang kamu mainkan kali ini?"
Lengan Reina terasa sakit, dia menyahut, "Aku nggak paham maksudmu."
Reina ingin melepaskan tangannya dari cengkeraman Jovan, tetapi pria itu sudah lebih dulu menepisnya.
"Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!"
Reina yang tersentak langsung mundur beberapa langkah dan akhirnya terjatuh.
Jovan berdiri diam dan agak terkejut.
Dasar wanita jalang, sekarang dia bisa bersandiwara?
Disentak pelan begitu saja bisa jatuh?
Beberapa pejalan kaki pun menoleh ke arahnya saat melihat kejadian ini, Jovan yang merasa tidak nyaman langsung kembali ke dalam mobil dan memperingatkannya sebelum pergi.
"Reina, jangan menindas Marsha hanya karena kamu cacat. Dia berbeda darimu, dia sudah berusaha begitu keras untuk mencapai posisinya saat ini. Sebaiknya kamu berhenti mengganggu hubungannya dengan Kak Max."
Jovan pun pergi lalu dengan teganya memberi tahu Keluarga Andara di mana Reina tinggal saat ini.
Karena terjatuh tadi, tangan dan lutut Reina jadi memar. Rasa sakit yang cukup menusuk membuatnya butuh waktu lama untuk kembali berdiri.
Sebenarnya, Reina sangat tidak paham kenapa Jovan memperlakukannya seperti ini.
Reina ingat dengan jelas. Empat tahun yang lalu, Jovan mengalami kecelakaan dan terjebak di mobil yang akan segera meledak. Waktu itu Reina tanpa ragu langsung menyeretnya keluar mobil tanpa memedulikan bahaya yang mengancam.
Wajah Jovan penuh dengan darah, meski tidak bisa membuka matanya, dia berujar dengan lembut, "Terima kasih, aku pasti akan membalas kebaikanmu."
Apa ini balasan yang pria itu maksud?
Sesampainya di motel, Reina mandi dan mengobati lukanya.
Reina menjatuhkan diri ke kasur dengan tatapan kosong.
Setelah kejadian hari ini, dia semakin bertekad untuk meninggalkan Maxime.
Saat Reina terbangun, langit sudah cerah.
Reina keluar kamar dan mendapati ibunya sedang duduk di ruang tamu dengan mengenakan gaun berwarna merah.
Treya yang melihat Reina sudah bangun pun langsung menyerahkan sebuah amplop ke hadapan Reina. Treya terlihat tidak peduli sama sekali dengan kondisi putrinya.
"Baca baik-baik, ini jalan keluar yang Ibu pilihkan untukmu."
Reina mengambil dokumen itu dan melihat judulnya "Perjanjian Pranikah".
Lalu, dia membaca berkas itu.
"Nona Reina dengan sukarela menikahi Pak Jeremy dan sebagai istri akan terus merawat suaminya sampai tua ...."
"Pak Jeremy akan menafkahi Keluarga Andara dan memberi uang 600 miliar sebagai maskawin."
Jeremy Latief adalah seorang pengusaha generasi tua di Kota Simaliki yang saat ini berusia 78 tahun.
Reina tercekat.
Treya kembali melanjutkan, "Pak Jeremy bilang dia nggak keberatan menikahi kamu yang sudah pernah menikah. Asal kamu mau menikah dengannya, dia akan membantu Keluarga Andara bangkit lagi."
"Reina anak yang baik, kamu nggak mungkin mengecewakan ibu dan adikmu, 'kan?"
Seketika, wajah Reina jadi pucat.
"Aku nggak mau."
Treya jadi marah, dia tidak menyangka Reina akan langsung menolaknya.
"Punya hak apa kamu menolak? Aku yang melahirkanmu!"
Reina menatap ibunya lekat-lekat, lalu menyahut, "Kalau begitu apa utangku bisa dianggap lunas setelah kukembalikan nyawaku padamu?"
Treya tercengang.
"Apa katamu?"
Reina kembali berujar dengan bibir yang pucat pasi itu, "Kalau aku mengembalikan nyawaku padamu yang sudah melahirkanku, apa artinya kamu bukan lagi ibuku dan aku nggak lagi berutang padamu?"
Treya yang tidak percaya Reina berani berbuat nekat pun mencibir, "Oke! Kalau kamu mati, aku nggak akan memaksamu."
"Tapi, memangnya kamu berani?"
Reina menjawab dengan tegas seolah sudah membuat keputusan, "Beri aku waktu sebulan."
Treya merasa Reina sudah gila.
"Jangan pikir kamu bisa mengancamku dengan bilang mau mati. Aku nggak mengakuimu, mati ya mati saja sana. Kalau kamu nggak berani mati, lebih baik tanda tangan perjanjian ini."
Reina merasa sangat tertekan, dia ingin mencari tempat untuk melepas penatnya.
Di sebuah bar.
Reina duduk melamun di pojokan bar, menonton orang lain di sekitarnya menari, tertawa lepas dan bersenang-senang.
Seorang pria tampan dengan mata yang indah melihat sosok Reina yang seorang diri, dia pun menghampirinya.
"Eh? Reina?"
Reina balas menatap pria itu, tetapi dia tidak mengenalinya. Reina bertanya dengan tatapan kosong, "Apa kamu tahu cara supaya bisa bahagia?"
Pria itu bingung dan balas bertanya, "Apa katamu?"
Reina menegak anggurnya, lalu menjawab, "Dokter bilang aku sakit dan harus membuat diriku senang, tapi ... aku nggak bisa merasa senang ...."
Revin Lander merasa muram saat mendengar jawaban Reina.
Apa Reina tidak mengenali dirinya?
Selain itu, sakit apa dia sampai harus menyenangkan diri sendiri?
"Nona, kalau mau merasa senang harusnya kamu bukan datang ke tempat seperti ini."
"Ayo, kuantar pulang." Revin mengajaknya dengan lembut.
Reina menatapnya sambil tersenyum, "Kamu orang yang baik."
Revin menatap senyum pahit Reina dengan perasaan campur aduk, sebenarnya apa yang terjadi pada Reina belakangan ini?
Kenapa dia terlihat begitu menyedihkan?
Di sisi lain, ternyata Maxime juga berada di bar yang sama.
Sejak mengurus perceraian, setiap hari Maxime selalu pergi bersenang-senang dan sudah lama tidak pulang ke Vila Magenta.
Sekarang sudah larut malam, Maxime dan rombongannya bersiap untuk pulang.
Saat itulah Marshanda melihat sosok yang dikenalnya berada di pojok bar.
Marshanda yang terkejut pun memekik, "Eh? Itu 'kan Nona Reina?"
Maxime menoleh ke arah yang Marshanda tunjuk dan melihat seorang pria duduk di depan Reina sambil mengobrol dan tertawa bersamanya.
Wajah tampan Maxime seketika menjadi dingin.
Ternyata Reina mabuk-mabukkan dan menggoda pria lain?
Cih! Maxime sudah salah menilai Reina.
"Max, apa mau kamu samperin dulu?" tanya Marshanda.
"Nggak usah."
Maxime menjawab dengan dingin lalu langsung beranjak pergi.
Reina menolak tawaran Revin dan menjawab, "Terima kasih, aku bisa pulang sendiri, nggak perlu merepotkanmu."
Reina beranjak pergi, Revin yang mengkhawatirkannya langsung mengejarnya.
"Reina, kamu ... nggak ingat aku?"
Reina kembali menatap pria itu. Siapa pria ini?
"Aku si gendut! Kamu udah lupa?" Revin mengingatkan.
Ah, sekarang Reina ingat. Dulu waktu masih kecil, dia tinggal dengan Lyann di kampung, di sana Reina punya seorang teman baik yang dijuluki si gendut.
Waktu itu Revin dijuluki seperti itu karena memang tubuhnya sangat gendut. Sekarang pria yang berada di hadapannya ini bertubuh tinggi 190 cm dan terlihat tampan.
"Ah, aku ingat. Wah kamu beda banget dibanding waktu kecil dulu, aku sampai nggak kenal."
Bisa bertemu kenalan di tempat asing tentu adalah hal yang menyenangkan.
Reina tersenyum tipis, entah perasaan apa yang timbul di hati Revin.
"Ayo, kuantar pulang."
Revin mendapati ternyata Reina tinggal di sebuah motel bobrok.
Reina jadi sungkan dan berkata, "Ah, ketahuan deh. Jadi malu aku."
"Kamu jangan bilang ke Bu Lyann ya kalau aku tinggal di sini, takutnya dia jadi khawatir."
Revin mengangguk.
Sekarang sudah larut malam.
Tidak baik bagi Revin untuk tinggal lama-lama.
Revin pun pergi setelah memberi tahu Reina kalau dia akan menemuinya lagi besok pagi.
Karena gelap gulita, Revin tidak menyadari ada sebuah mobil Maybach berwarna hitam yang terparkir di dekat pintu hotel.
Revin sudah pulang.
Karena minum terlalu banyak, Reina merasa sakit perut dan pusing.
"Dok! Dok!"
Pintu kamar Reina digedor.
Reina kira Revin datang kembali, dia pun membukakan pintu.
Begitu pintu terbuka, pergelangan tangan Reina langsung dicengkeram Maxime.
Reina yang ringkih tentu tidak sepadan dengan tenaga pria kekar seperti Max, cengkeraman Maxime membuat pergelangan tangan Reina rasanya mau patah.
"Reina! Hebat juga ya kamu!"
Maxime menutup pintu dengan punggung tangannya lalu mendorong Reina ke sofa.
"Ternyata kamu sudah memilih mangsamu selanjutnya, pantas saja kamu mau melepaskanku!" cibir Maxime.
Perkataan Maxime seperti pisau yang menyayat hatinya.
Entah bangaimana Maxime bisa mengetahui keberadaannya di sini dan bertemu dengan Revin.
Reina tertegun, dia tidak membela diri dan hanya menatap Maxime. "Kenapa? Kita 'kan sama saja."
Keluarga Andara sudah menipu Maxime dalam pernikahan ini.
Maxime memperlakukan Reina dengan dingin, bahkan dia yang berstatus suami Reina masih mempertahankan hubungannya dengan Marshanda, cinta pertamanya.
Mereka berdua sama, tidak ada yang berhak membenarkan diri.
Hari ini Maxime juga minum-minum, tubuhnya bau alkohol.
Maxime menjepit dagu Reina dan berujar dengan suara yang dalam.
"Siapa dia?"
"Sejak kapan kalian kenal?"
Ini adalah pertama kalinya Reina melihat Maxime yang seperti ini, dia pun tersenyum.
"Kamu cemburu?"
Maxime memicingkan mata lalu mendengus dingin, "Kamu pikir siapa kamu?"
Reina tercekat.
Maxime menindih tubuh Reina dan berbisik di telinga wanita itu.
"Dia sudah menyentuhmu, 'kan?"
Setelah menikah, Reina berhenti bekerja karena dilarang oleh Keluarga Sunandar. Kadang teman-temannya suka mengajaknya bertemu, tetapi selalu Reina tolak.
Sekarang bisa-bisanya Maxime masih mencurigainya.
Namun, Reina merasa agak lega.
"Menurutmu?" Reina balik bertanya.
Maxime jadi sangat kesal, tangannya pun langsung menggerayangi tubuh Reina.

Bab 6
Reina mematung dan tidak bisa berkutik, dia tidak percaya semua hal ini terjadi.
Reina berusaha meronta dan menolak, tetapi usahanya sia-sia.
Maxime baru kembali tenang setelah mencapai puncak kepuasan.
Di luar, langit sudah mulai terang.
Maxime melirik tubuh Reina yang ringkih, lalu mendapati ada noda merah di kasur. Maxime merasakan sesuatu, tetapi dia tidak bisa menjelaskannya.
"Plak!"
Reina mengangkat tangannya dan menampar wajah Maxime kuat-kuat.
Tamparan ini sekaligus mematahkan semua ilusinya tentang cinta.
Telinga Reina kembali berdengung, dia tidak bisa mendengar apa yang Maxime katakan dan langsung membentaknya, "Keluar!"
Maxime pun pergi.
Adegan semalam terus berputar di benaknya.
Maxime kembali ke mobilnya dan berkata pada Ekki, asistennya, "Selidiki pria mana saja yang Reina kenal."
Ekki bingung.
Mana mungkin ada pria lain? Setelah menikah setiap hari Reina hanya mencintai Pak Maxime, mana mungkin ada pria lain?
...
Di motel, setelah Maxime pergi.
Reina mandi dan menggosok dirinya berulang kali.
Mendekati perceraian mereka baru melakukan hubungan suami istri? Benar-benar konyol dan juga ... miris ....
Jam 9 pagi, Revin datang membawa sarapan tetapi tidak menyadari ada yang aneh dari Reina.
"Ah, semalam aku lupa kasih tahu. Kebetulan aku punya apartemen kosong, bagaimana kalau kamu tinggal di sana?"
"Nggak aman seorang gadis sepertimu tinggal di motel sendirian."
Reina menggeleng dan menolak.
Balas budi adalah hal yang paling sulit dilakukan, Reina tidak ingin utang budi pada orang lain.
Revin sudah menduga Reina akan menolaknya, dia pun membujuk, "Sudah, nggak apa-apa, kamu tinggal saja di sana. Lagian, aku akan menagih biaya sewa."
"Tapi paling aku hanya akan tinggal selama sebulan."
"Nggak masalah, lebih baik daripada kamar itu kosong sebulan."
Sebenarnya Revin tidak paham kenapa Reina bilang dia hanya akan tinggal selama sebulan, karena baginya waktu mereka bersama masih sangat panjang.
Revin mengantar Reina ke sana.
Reina hanya membawa sebuah koper, tidak ada barang lain.
Setelah masuk ke mobil, Revin mengobrol dengan Reina tentang masa kecil mereka, lalu Revin menceritakan seperti apa hidupnya setelah mereka berpisah.
Revin pergi ke luar negeri setelah lulus SMA dan bekerja keras untuk membiayai pendidikannya di luar negeri. Di umur 20 tahun, dia berhasil mendirikan perusahaan sendiri dan sekarang dia bisa dibilang sudah jadi seorang bos.
Reina kagum mendengar pencapaian Revin yang luar biasa, lalu berkaca pada dirinya sendiri.
Setelah lulus, dia menikah dengan Maxime dan menjadi seorang ibu rumah tangga.
Reina menatap Revin dengan kagum, "Kamu hebat banget."
"Kamu juga hebat! Setelah kamu pergi dari kampung, aku masih mencari berita tentangmu. Kamu pernah masuk berita karena meraih juara satu sebagai pianis muda, 'kan? Waktu itu kamu adalah idolaku ...."
Revin tidak memberi tahu Reina.
Di awal ceritanya mengadu nasib di luar negeri, sebenarnya hidup Revin sangat susah, dia banyak belajar hal buruk bahkan sampai ingin menyerah terhadap diri sendiri.
Sampai suatu hari, dia melihat sosok Reina di berita internasional. Waktu itu Reina terlihat seperti cahaya yang mendorong Revin untuk bangkit dan kembali berjuang.
Revin memuji kehebatan Reina dan Reina mendengarkan dengan saksama, karena dia sendiri hampir melupakan masa-masa itu.
Akhirnya mereka sampai.
Sebelum masuk ke dalam, Reina berujar, "Terima kasih ya, bahkan aku hampir lupa seperti apa diriku yang dulu."
Reina tinggal di tempat Revin.
Masih ada belasan hari sebelum tanggal 15 Mei tiba, hari di mana Reina dan Maxime akan resmi bercerai.
Tiba-tiba, dia teringat janjinya pada Treya.
Suatu pagi, Reina pergi membeli guci abu.
Kemudian, dia pergi ke sebuah studio foto. Semua staf studio itu menatap Reina dengan bingung karena dia meminta foto dirinya dicetak hitam putih.
Reina pulang setelah semua urusannya selesai.
Di rumah, Reina melamun sembari menatap ke luar jendela.
Tiba-tiba ponsel Reina berdering.
"Nana, siapa yang menyuruhmu memberiku uang? Aku nggak butuh uang itu, kamu simpan saja untuk nanti, mungkin kamu mau berbisnis atau ada keperluan lain ...."
Selama ini, Reina memang diam-diam sering memberi uang pada Lyann.
Lyann tinggal di kampung sehingga tidak butuh banyak uang, jadi selama ini dia selalu menyimpan uang pemberian Reina.
Air mata mulai membasahi wajah kuyu Reina saat dia mendengar omelan Lyann yang sangat menyayanginya.
"Bu Lyann, apa Ibu mau menjemputku sama seperti waktu kecil dulu?"
Lyann bingung.
Reina melanjutkan, "Tanggal 15 nanti, aku mau Bu Lyann menjemputku pulang ke rumah kita."
Lyann tidak mengerti, ada apa dengan tanggal 15?
"Oke, Ibu jemput kamu ya tanggal 15 nanti."
Belakangan ini pihak rumah sakit sering mengiriminya pesan dan memintanya melakukan pemeriksaan kesehatan, tetapi semua ini ditolak dengan sopan oleh Reina.
Bagaimanapun, dia sudah memutuskan untuk pergi dari dunia ini, tidak ada gunanya membuang uang untuk pengobatan.
Reina membuka buku tabungannya dan melihat masih ada uang dua ratusan juta, Reina berencana memberikan uang ini pada Lyann untuk biaya masa tuanya.
Dalam beberapa hari terakhir, Kota Simaliki terus diguyur hujan.
Revin sering mengunjunginya dan selalu mendapati Reina sedang duduk melamun sendirian di teras.
Revin juga menyadari pendengaran Reina semakin memburuk karena meski Revin sudah berkali-kali mengetuk pintu, Reina tetap tidak mendengarnya.
Di sisi lain, di Grup Sunandar.
Setelah selesai bekerja, Maxime terbiasa melirik ponselnya untuk melihat apa ada pesan dari Reina atau tidak. Setiap kali mendapati tidak ada pesan dari Reina, tatapan Maxime sontak berubah menjadi suram.
Saat ini, Ekki masuk ke ruangannya.
"Pak Maxime, kami sudah tahu siapa pria itu. Namanya Revin, dia adalah teman masa kecil Reina."
Apa yang Maxime ketahui sama dengan berita yang beredar. Itu adalah teman masa kecil Reina, Revin Lander.
Ekki melaporkan, Revin adalah pria yang Reina kenal sewaktu di kampung dulu.
Artinya, Reina mengenal Revin lebih dulu dibanding mengenal Maxime.
Maxime mengernyit kesal begitu mengingat pria bermata genit itu.
"Pak Maxime, Pak Jovan masih menunggumu di luar."
Maxime menjawab, "Bilang padanya hari ini aku masih ada kerjaan."
Ekki terkejut.
Beberapa hari belakangan, Pak Maxime selalu pergi bersenang-senang dengan para anak orang kaya itu setelah selesai bekerja, ada apa hari ini? Tumben?
Maxime turun ke bawah dengan lift khusus untuknya dan naik ke mobilnya di garasi, kemudian melajukan mobilnya ke motel tempat Reina menginap.
Namun, sesampainya di sana, Maxime baru tahu kalau Reina sudah pindah beberapa hari yang lalu.
Seketika, Maxime merasa kesal. Dia mengeluarkan ponselnya dan mencari nomor Reina.
Baru saja Maxime memutuskan akan meneleponnya, masuklah telepon dari Marshanda.
"Ada apa?"
"Max, kata Ibu Reina, Reina sedang bersiap menikah."
Maxime tercekat.
Marshanda pergi menemui ibu dan adik Reina.
Dari keduanya-lah Marshanda tahu bahwa Reina akan menikahi seorang kakek tua demi uang 600 miliar.
Melihat Maxime hanya diam saja, Marshanda kembali mengompori.
"Kata ibunya, Reina yang minta mahar sebesar 600 miliar. Nggak kusangka ternyata dia seperti itu."
"Dia juga bilang karena belum melewati masa tenang, dia nggak enak mengadakan pesta, jadi dia berencana menikah secara sipil dulu."
...
Padahal faktanya, Reina tidak tahu menahu rencana ibu dan adiknya yang sedang mempersiapkan pesta pernikahan untuknya. Reina sendiri tidak menganggap serius pembicaraannya dengan Treya waktu itu.
Hari ini, Reina baru mendapat pesan dari ibunya, "Pak Jeremy sudah menentukan hari pernikahanmu, tanggal 15 bulan ini."
"Masih ada empat hari lagi, siapkan dirimu dengan baik. Kali ini, kamu harus bisa menjaga perasaan Pak Jeremy, ngerti?"
Entah bagaimana Reina harus menjelaskan perasaan yang timbul di hatinya ini.
Tanggal 15 ....
Hari yang penuh kegembiraan ....
Hari di mana dia dan Maxime akan bercerai.
Hari dia dipaksa menikah dengan kakek tua ....
Juga hari di mana dia sudah memutuskan untuk meninggalkan dunia ini ....
Reina takut melupakan semua hal penting ini, jadi dia mencatatnya di buku catatannya.
Setelah selesai mencatat, Reina menulis surat wasiat.
Reina menggenggam pulpennya untuk waktu yang cukup lama, dia tidak tahu mau menulis apa. Akhirnya, dia menulis surat untuk Lyann dan Revin.
Surat itu dia selipkan di bawah bantal.
Tiga hari kemudian.
Hari ini tanggal 14 dan hujan turun dengan sangat deras.
Ponsel Reina yang ada di atas meja terus berdering.
Treya meneleponnya tanpa henti dan menanyakan keberadaannya.
Karena besok Reina akan menikah, Treya menyuruh Reina pulang supaya bisa menyiapkan pernikahan dengan baik.
Reina tidak mengangkat telepon atau membalas pesan Treya. Hari ini dia memakai gaun panjang berwarna merah muda cerah dan merias wajahnya.
Meski pada dasarnya dia sudah cantik, tubuhnya saat ini terlalu kurus dan wajahnya terlalu pucat.
Reina menatap pantulan dirinya yang cantik di cermin, saat ini dia seolah kembali seperti sebelum menikah dengan Maxime.
Setelah itu, Reina naik taksi dan pergi menuju sebuah pemakaman.
Reina turun dari taksi sambil memegang payung, lalu berjalan perlahan menuju batu nisan ayahnya dan meletakkan buket bunga aster putih.

0 comments:

Catat Ulasan

Segala komen adalah hak dan tanggungjawab anda sendiri!!!
All comments are your own right and responsibility.!!!

Nota: Hanya ahli blog ini sahaja yang boleh mencatat ulasan.

Pengikut