Monolog Jiwa — Jangan Sibuk Memikirkan


Monolog Jiwa — Jangan Sibuk Memikirkan

Monolog Jiwa — Jangan Sibuk Memikirkan

"Jangan sibuk memikirkan dengan apa yang kamu tidak ada, tetapi fikirlah dengan apa yang kamu ada."
وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ

“Dan pada diri kamu apakah kamu tidak melihatnya..” — (Az-Zariyat: 21)

Berhenti sejenak — tarik nafas yang panjang, biarkan dunia di luar mengecil sedikit demi sedikit. Bukan kerana dunia tidak penting, tapi supaya suara dalam diri ini kembali terdengar jelas; suara yang selesai diasak oleh tuntutan dan perbandingan. Kita sering diheret oleh kekurangan: seolah kekurangan itu sebuah lubang hitam yang mesti diisi segera. Padahal, di samping lubang itu, masih ada langit yang luas untuk melihat cahaya yang tak pernah padam.

Kalau kau ubah cara pandang itu, kau akan mula lihat sesuatu yang dulu kau sangka remeh—sebuah pagi yang masih bernyawa, secawan kopi yang tidak terlalu pahit, tawa yang tiba-tiba dari seseorang yang dekat. Semua berkisar pada satu perkara yang sederhana: syukur. Syukur bukan sekadar ucapan; ia adalah cara memandang, memilih untuk menaruh perhatian pada nikmat — kecil dan besar — yang diberi tanpa syarat.

Allah mendesak kita untuk melihat diri: وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ. Bukankah mudah kita melayangkan pandang keluar, mencari jawapan di tempat yang jauh? Sedangkan tanda-tanda kebesaran itu, kadang, berbisik lembut pada tiap nafas dan denyut nadi kita. Bila mata hati terbuka, setiap inci diri menjadi kitab yang mengajar kita bersyukur.

Ada hari-hari kita lemah. Itu bukan bukti bahawa kita kalah. Ada malam bila air mata datang tanpa pukulan alasan. Itu bukan dosa. Bahkan, cara kita menoleh kepada nikmat dalam keadaan rapuh itulah ujian iman yang paling jujur. Bila yang sedikit terasa cukup, itulah kemenangan yang paling senyap.

Jangan sibuk membanding. Perbandingan mematikan rasa gembira—ia menukar kegembiraan menjadi tuntutan. Ganti persoalan "Mengapa aku belum ada itu?" kepada "Apa yang sudah ada padaku yang patut kusyukuri hari ini?" Biarkan pertanyaan itu menjadi lensa baru, yang menajamkan keindahan kecil yang selama ini dilangkah tanpa disedari.

Ambil pena kecil dan tulis tiga hal yang kau miliki sekarang: mungkin sebuah kenangan manis, sebuah tugas yang memberi makna, atau seorang teman yang sudi mendengar. Baca kembali bila dunia terasa berat. Kadang, hanya butuh sebentuk pengakuan kecil untuk mengubah hari.

Dan bila kau lihat nikmat itu—satu persatu—hati itu akan jadi tempat yang aman. Syukur tidak menghapus rencana atau cita-cita; ia sekadar menautkan hati kepada yang memberi; mengajarkan kita sabar sambil terus melangkah. Lihatlah dirimu. Di situ terlihat kebesaran Allah. Di situ kau akan temui alasan untuk terus menyebut nama-Nya pada setiap hembusan.

Selamat memandang ke dalam. Semoga setiap detik yang kau kira biasa, akhirnya menjadi doa yang tersusun rapi.

Catat Ulasan

0 Ulasan