Tangan Yang Kotor, Jiwa Yang Teruji


Tangan Yang Kotor, Jiwa Yang Teruji

Ditulis sebagai renungan tentang pendidikan, nilai manusia, dan kecerdasan yang sering kita abaikan.


Tulisan ini ditemukan di Threads dan dikongsikan semula di Facebook. Ia bukan sekadar kisah seorang murid, tetapi cermin besar tentang cara kita menilai manusia.

Berikut adalah artikel asal, dikekalkan sepenuhnya sebagai penghormatan kepada penulisnya.


Dulu, ada murid saya namanya Taufik. Saya ingat betul, kertas ulangan Fisikanya selalu kotor. Ada cap jempol hitam di lembar jawabannya. Bukan tinta pulpen. Tapi oli.

Kuku-kukunya selalu hitam. Baunya bukan wangi parfum, tapi bau bensin campur matahari.

Setiap ulangan teori: Nilainya 40. Hukum Ohm? Gak paham. Rangkaian Seri-Paralel? Terbalik terus.

Saya sering tegur: “Fik, cuci tangan dulu sebelum masuk!” “Kamu niat sekolah gak sih? Kertas kotor gini gimana saya koreksinya?”

Dia cuma nyengir. “Maaf Pak, tadi habis benerin rantai motor teman di parkiran.”

Suatu hari, sekolah kami sedang ada acara besar. Pentas Seni + Perpisahan Kelas 9. Panggung megah. Sound system menggelegar. Tamu undangan penuh.

Tiba-tiba… PET! Mati listrik total. Genset sekolah batuk-batuk, lalu mati. Hening. Panitia panik. Kepala Sekolah pucat. Teknisi sekolah lagi cuti sakit.

Acara terancam bubar. Malu besar kalau sampai gagal.

Di tengah kepanikan guru-guru… Saya lihat Taufik lari ke belakang panggung. Masih pakai seragam batik, dia buka jas almamaternya.

Dia jongkok di depan genset tua itu. Tanpa buku manual. Tanpa rumus fisika. Tangannya yang “kotor” itu bergerak cepat.

Membuka klep, memutar baut, menyambung kabel yang putus.

Mulutnya komat-kamit. Bukan baca doa, tapi menganalisa mesin.

“Ini carburetor-nya banjir, Pak. Busi-nya kotor,” teriaknya ke saya.

Lima menit yang terasa seperti satu jam.

Taufik berdiri. Keringat bercucuran. Tangannya makin hitam kena jelaga.

Dia tarik tuas genset sekuat tenaga.

Brum… BRUMMM!

Lampu panggung nyala! Sound system hidup lagi!

Satu lapangan tepuk tangan gemuruh.

“Hidup Taufik! Hidup Taufik!”

Hari itu, Taufik yang nilainya 40 di kertas… Dapat nilai 1.000 di kehidupan nyata.

Minggu lalu, mobil saya mogok di jalan tol.

Mesin overheat. Asap ngebul.

Saya pinggirkan mobil, bingung harus telepon siapa.

Tiba-tiba ada mobil double cabin gagah berhenti di depan saya.

Stiker di pintunya: “Taufik Engineering Solutions”.

Seorang pria turun. Badannya tegap, rapi.

Tapi pas dia salaman sama saya…

Saya kenal tekstur tangan kasar ini.

“Pak Devi kan?” sapanya sambil senyum.

Itu Taufik.

Sekarang dia punya bengkel besar dan jadi kontraktor mesin.

Dia benerin mobil saya cuma dalam 10 menit. Gratis.

Sambil ngelap tangannya, dia bilang:

“Pak, makasih ya.

Dulu Bapak gak pernah marah soal tangan saya yang hitam.

Bapak cuma marah kalau saya gak ngerjain PR.

Tapi Bapak gak pernah ngehina hobi saya.”

“Pas Bapak bilang ‘Tangan kamu ini emas’ waktu benerin genset dulu…

Itu yang bikin saya berani buka bengkel.”

Saya nangis di pinggir jalan tol hari itu.

Bukan sedih.

Tapi bangga sampai ke ulu hati.

Kita sering lupa.

Kecerdasan itu bentuknya beda-beda.

Ada yang cerdas di ujung pena.

Ada yang cerdas di ujung obeng.

Kalau hari ini ada muridmu yang nilai Fisikanya jeblok tapi jago benerin kipas angin…

Jangan dimatikan semangatnya.

Siapa tahu, tangan kotor merekalah yang nanti menolong kita saat mogok di jalan kehidupan.

Pernah punya murid yang “akademiknya kurang” tapi “skill hidupnya jago”?

Absen di bawah!


Ada tulisan yang tidak memerlukan bahasa sastera yang indah untuk menusuk hati. Ia hanya perlu jujur.

Kisah tentang Taufik ini adalah salah satunya.

Seorang murid yang gagal dalam kertas peperiksaan, namun lulus dengan cemerlang dalam peperiksaan kehidupan.

Cap jempol hitam pada kertas jawapan bukan tanda kemalasan. Ia adalah tanda seseorang yang sudah lama bekerja dengan dunia sebenar— dengan besi, minyak, panas matahari, dan tanggungjawab.

Kita sering silap menilai.

Apabila seorang murid tidak faham Hukum Ohm, kita cepat menganggap dia tidak pandai. Sedangkan mungkin, tangannya sedang menghafal bahasa lain— bahasa mesin, bunyi enjin, dan getaran logam.

Bahagian paling menyentuh dalam kisah ini bukan ketika genset hidup semula, tetapi ketika seorang guru memilih untuk tidak merendahkan.

Marah kerana disiplin, tetapi tidak menghina kerana perbezaan.

Satu ayat kecil yang disebut dengan ikhlas —

“Tangan kamu ini emas.”

Ayat itu menjadi izin. Izin untuk percaya pada diri sendiri. Izin untuk tidak malu dengan bakat yang tidak lahir di dalam buku.

Dan akhirnya, kehidupan membalas dengan caranya sendiri.

Guru yang dahulu memegang kertas jawapan bernilai 40, hari ini diselamatkan oleh tangan yang sama — di bahu jalan tol, dalam asap dan kecemasan.

Tulisan ini mengingatkan kita:

  • Kecerdasan bukan satu bentuk.
  • Kejayaan bukan satu jalan.
  • Dan tidak semua ilmu lahir dari papan putih.

Ada murid yang cerdas di hujung pena. Ada yang cerdas di hujung obeng.

Jika hari ini kita berdepan anak-anak yang “lemah akademik”, mungkin yang mereka perlukan bukan perbandingan, tetapi pengiktirafan.

Kerana siapa tahu, tangan yang kita anggap kotor hari ini mungkin tangan yang menyelamatkan kita di jalan kehidupan suatu hari nanti.


Kredit & Sumber Asal:
Tulisan asal oleh Bapak Ipadevpro (Devi Saiduloh, Guru IPA)
Ditemui melalui Threads & dikongsi semula oleh oenjil W
https://www.facebook.com/share/p/17a5oqM4BS/


Kredit & Sumber Asal:
Tulisan oleh Bapak Ipadevpro – Devi Saiduloh (Guru IPA)
Ditemui melalui Threads
Dikongsi semula oleh oenjil W
https://www.facebook.com/share/p/17a5oqM4BS/

Catat Ulasan

0 Ulasan